Kamu terus bertanya
padaku
Kamu terus mengorek
masa laluku
Kamu terus
menganggapnya sebuah lelucon
Pada akhirnya aku tak
mendengar sedikit kamu berkata
Kamu terus tertawa
bahagia
Kamu menyukai
kebodohanku
Melihatmu menyukai
masa laluku,
membuatku menafsirkan
dan menyimpulkan
Betapa kamu sangat
acuh padaku
Betapa kamu sangat
peduli padaku
Sekilas hanya
terpikirkan olehku bagaimana cara aku mengenang dirimu
Apakah aku harus
tertawa,
atau aku harus
menyesalinya,
menjadi seseorang
yang dapat menghiburmu dengan masa laraku
Kesedihan masa itu
bukan lagi jadi persaingan antara rasa dan logika,
tapi itu cukup
membuatku berpikir tentang bagaimana caramu memperhatikanku
Kamu ingin
menghiburku
Satu sisi kamu ingin
menertawai kebodohanku
Aku senang dan sedih
pada detik yang sama
Aku suka mendengarmu
tertawa,
namun aku sedih
Satu pertanyaan
apakah kamu benar-benar peduli padaku akhirnya terjawab sudah
Saat aku ingin
melihat tawamu yang aku suka itu,
ternyata itu bukan
karenaku
Apakah aku harus
menceritakan masa laraku lagi kepadamu
Yang terjadi adalah
aku merasa aku tak sedang melihatmu
Apakah semua orang
harus mendengar kebodohanku,
agar kamu tau bahwa
aku ini memang sangat bodoh,
sudah menjadikan
waktu “kita” sebagai sebuah prioritas
Apakah aku menyesal?
Apakah aku bodoh?
Apakah aku sedang
bertanya pada diriku sendiri?
Aku sering berbuat
seperti ini
Apakah kau juga
bertanya dengan pertanyaan yang sama?
Apakah itu tertuju
untuk dirimu?
Apakah itu tertuju
untukku?
Mungkin ketika aku
bercerita betapa kamu berhasil membuatku berharap,
kamu akan tertawa
Karena aku dan laraku
adalah sebuah tawa,
dan kamu dan tawamu
adalah sebuah lara
untukku
Story by : R
Story by : R